Jumat, 14 Januari 2011

Altruistik ( Altruisme ):

ALTRUISME

Altruism
is a selfless concern for the welfare of others.

Orang yang altruist adalah orang yang lebih mementingkan orang lain dibanding dirinya sendiri.  Orang yang mau mengorbankan (kepentingan) dirinya sendiri demi kebaikan orang lain. Orang yang punya motivasi untuk menolong orang lain dan berbuat kebaikan tanpa pamrih.

Lawan dari altruisme adalah egoisme.

IMHO, dalam kehidupan sehari2, altruisme ini bisa sering kita lihat dalam wujud ‘unconditional love’ seorang ibu terhadap anaknya.  Dalam skala yang lebih luas, mungkin juga bisa dilihat pada kecintaan seorang guru terhadap murid(-murid) nya, kecintaan seorang pemimpin terhadap rakyatnya, atau juga kecintaan seorang Nabi terhadap umatnya.

Bagaimana dengan pengorbanan anak buat ibunya??  Apakah termasuk altruisme?? Sedangkan selain karena cinta, sang anak juga mengharapkan ‘pamrih’ berupa pahala…
Bagaimana dengan pengorbanan seorang hamba terhadap Tuhannya? Termasuk altruisme sejati kah?  Mengingat sang hamba ini mengharapkan ‘pamrih’ berupa surga..

Ternyata menurut para ahli, keduanya bukan bentuk altruisme sejati, melainkan lebih kepada kewajiban dan kesetiaan (duty & loyalty).  Selama seseorang mengharapkan reward (pamrih) dari perbuatan baiknya, maka itu tidak bisa disebut altruisme

Definisi

Altruisme berasal dari bahasa Perancis yaitu autrui yang artinya "orang lain"turunan dari kata latin Alter.

Secara epistimologis, altruisme berarti: 1. Loving others as oneself. 2. Behaviour that promotes the survival chances of others at a cost to ones own. 3. Self-sacrifice for the benefit of others.

Istilah Altruisme diciptakan oleh Auguste Comte -- Penggagas filsafat positivisme. Dalam karyanya, Catechisme Positiviste,

Comte mengatakan bahwa setiap individu memiliki kehendak moral untuk melayani kepentingan orang lain atau melakukan kebaikan kemanusiaan tertinggi ("greater good" of humanity). Kehendak hidup untuk sesama merupakan bentuk pasti moralitas manusia, yang memberi arah suci dalam rupa naluri melayani, yang menjadi sumber kebahagiaan dan karya. Sebagai sebuah doktrin etis, altruisme berarti melayani orang lain dengan menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri.

Altruisme merupakan kehendak pengorbanan kepentingan pribadi. Tindakan ini seringkali disebut sebagai peniadaan diri atau pengosongan diri. Altruisme termasuk sebuah dorongan untuk berkorban demi sebuah nilai yang lebih tinggi, entah bersifat manusiawi atau ketuhanan. Tindakan altruis dapat berupa loyalitas. Kehendak altruis berfokus pada motivasi untuk menolong sesama atau niat melakukan sesuatu tanpa pamrih, berupa ketetapan moral.

Altruisme adalah perbuatan mengutamakan orang lain dibanding diri sendiri. perbuatan ini adalah sifat murni dalam banyak budaya, dan merupakan inti dalam banyak agama. Dalam budaya Inggris, konsep ini sering diperihalkan sebagai peraturan keemasan etika. Dalam Buddhisme, ia dianggap sebagai sifat asas bagi fitrah manusia.

Perilaku altruistik tidak hanya berhenti pada perbuatan itu sendiri. sikap dan perilaku ini akan menjadi salah satu indikasi dari moralitas altruistik. Moralitas altruistik tidak sekadar mengandung kemurahan hati atau belas kasihan. Ia diresapi dan dijiwai oleh kesukaan memajukan sesama tanpa pamrih. Karena itu, tindakannya menuntut kesungguhan dan tanggung jawab yang berkualitas tinggi.

Perspektif Psikologi

Dalam sebuah wawancara dengan Sri Rahayu Astuti, Dra., M.Si, pakar Psikologi Sosial dari Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran di kampus Psikologi Universitas Padjadjaran, Jatinangor, tentang apakah altruisme itu merupakan tindakan atau motif, ia menjelaskan bahwa:
 
“Ketika kita berbicara tentang altruisme lebih khususnya perilaku altruistik maka akan terkait dengan prosocial behaviour (tingkah laku prososial). Di dalam prosocial behaviour terdapat prosocial motive (motif prososial) yang nantinya akan digali lebih dalam menjadi altruistic as motive (altruistik sebagai motif) dan altruistic as behaviour (altruistik sebagai perilaku).

Altruistic as behaviour, pemahamannya adalah menolong orang lain, membuat orang lain senang. Tetapi membuat orang lain senang itu didasari oleh dua faktor. Yang pertama saya benar-benar tidak peduli siapa kamu, dari mana kamu, pokoknya saya menolong.
Ketika saya melihat kamu tidak nyaman maka saya akan menolong. Ini dinamakan eksosentris. Yang kedua saya menolong kamu kalau saya mempunyai suatu keuntungan dari menolong kamu tersebut. Ini dinamakan endosentris.

Altruistic as motive berarti menolong orang lain betul-betul murni berasal dari dalam dirinya dia dan ditujukan untuk kepuasan orang lain tanpa memperhitungkan atau memperdulikan apa-apa. Dan hal inilah yang saya lebih tekankan dalam bahasan tentang altruisme.“

Altruistik; Doktrin Agama

Altruistik diajarkan dalam agama. Dari sudut pandang teologi, altruistik merupakan suatu tindakan yang dijiwai oleh panggilan ilahi. sedangkan dalam tasawwuf, altruistik merupakan salah satu tujuan.

Pandangan Islam

Kualitas iman atau agama justru harus diukur dari tindakan altruistik seseorang. sebagaimana hadis Rasulullah saw:

“Berkorban untuk orang lain adalah kebajikan yang paling baik, dan merupakan derajat iman yang tertinggi.”


Seorang yang mengaku beragama atau beriman mestilah jiwa dan ruhaninya diresapi kasih sayang terhadap sesama tanpa bersikap diskriminatif dan primordialistik. orang beriman adalah orang yang diri dan apapun yang dimilikinya telah diberikan hanya untuk berjuang dijalan Allah. mereka bertindak hanya berdasar pada pertimbangan keimanan dan kepasrahan kepada Allah semata.

Dalam al-Quran surat al-Hasyr ayat 9 disebutkan:
.....ويؤثرون عـلى انفسهم ولو كان بهم خصاصة.....
“.....dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)....”
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa seorang laki-laki menghadap Rasulullah saw, dan berkata: “Ya Rasulullah! saya lapar.”

 Rasulullah meminta makanan dari istri-istrinya, akan tetapi tak ada makanan sama sekali. kemudian Rasulullah saw bersabda: “siapa di antara kalian yang pada malam ini bersedia memberi makan kepada tamu ini? Mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepadanya. Seorang Anshar menjawab: “saya, ya Rasulullah.” Ia pun pergi kepada istrinya dan berkata: “suguhkan makanan yang ada kepada tamu Rasulullah!” Istrinya menjawab: “demi Allah tidak ada makanan kecuali sedikit untuk anak-anak.” suaminya berkata: “bila mereka ingin makan, tidurkan mereka dan padamkan lampunya. biarlah kita menahan lapar pada malam ini.” Istrinya melaksanakan apa yang diminta suaminya. Keesokan harinya Rasulullah bersabda: “Allah kagum dan gembira karena perbuata suami istri itu.”

Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa tersebut, yang melukiskan perbuatan orang yang memperhatikan kepentingan orang lain.

Sementara itu Imam Ghazali membagi Itsar dalam 3 tingkatan:

Anda menempatkan orang lain seperti halnya pembantu. Anda memberikan sisa-sisa anda kepadanya dan ini adalah tingkatan paling rendah.
Anda menempatkan orang lain seperti diri anda sendiri, apa yang anda ambil seperti itulah yang juga anda berikan kepadanya.
Anda menempatkan orang lain di atas anda. Anda mengutamakan kebutuhannya daripada diri anda sendiri.

Dalam pembagian tersebut, tampaknya al-Ghazali ingin memberikan gambaran tentang berbagai perilaku pengorbanan yang dilakukan manusia. namun sebenarnya menurut penulis, poin pertama bukan merupakan sikap altruistik yang diajarkan oleh islam.

Dalam Islam, ketika memberi sesuatu maka berilah sesuatu yang paling dicintai, bukan barang sisa.


Ciri utama moralitas altruistik adalah pengorbanan. Pemberian bantuan yang didasarkan pada kebutuhan sesama disebut sebagai tindakan filantropik. Karena itu, tindakan altruistik menjadi suatu yang diidealkan dalam ajaran-ajaran agama. Bahwa sesama manusia harus dikasihi.

Didukung Filsafat

Bukan hanya para penganjur agama seperti para nabi yang menganggap altruisme sebagai pilihan terbaik manusia dalam mengelola hidupnya dengan sesama.
Bahkan para filsuf berpendirian bahwa altruistik adalah pilihan terbaik bagi kehidupan bersama umat manusia. Sir Charles Erlington umpamanya mengemukakan, bekerja sama telah terbukti lebih berhasil dari pada berkompetisi dalam proses evolusi.

Friedrich Nietzsche
menegaskan bahawa altruisme mendasarkan andaian bahawa orang-orang lain adalah lebih penting berbanding diri sendiri, dan kedudukan sebegini merendahkan maruah. Beliau juga menuntut bahawa orang-orang Eropa amat jarang mempertimbangkan pengorbanan kepentingan diri sendiri untuk orang lain sehingga selepas kemunculan agama Kristian.

Dalam bidang politik, bisnis, dan kehidupan sosial lainnya, acapkali dibutuhkan suatu bentuk pengorbanan untuk kemajuan bersama yang lebih baik. Kebiasaan pejabat tertentu mundur demi memberi kesempatan pada orang lain yang lebih muda atau lebih potensial, adalah bentuk kerja sama dan pengorbanan yang diperlukan untuk memberi manfaat yang berharga dan untuk tujuan lebih luhur bagi kemanusiaan.

Walaupun Darwin mengajarkan survival of the fittest sebagai hukum evolusi, ternyata bahwa hukum itu tidak semata-mata dijalani dengan berkompetisi dan cenderung mengorbankan pihak lain dan orang lain, tetapi juga, secara alamiah hukum itu mengandung makna pengorbanan.

Memang tidak mudah memahami ada manusia bersedia mengorbankan kepentingannya sendiri untuk kebaikan orang lain.
Nietzsche umpamanya menyebut kesediaan berkorban dan kerendahan hati sebagai suatu mental budak, mental orang-orang yang tak sanggup berjuang dan orang-orang yang mudah menyerah.

Dalam era globalisasi sekarang ini, memang muncul paradoks dalam relasi antarmanusia. Di satu pihak, persaingan atau kompetisi begitu kuat dipacu oleh pemimpin-pemimpin politik dan bisnis. Namun di pihak lain, muncul orang- orang yang merelakan dirinya, menempuh bahaya dan risiko untuk kepentingan orang lain.

Ketika terjadi bencana yang begitu besar, kita menyaksikan dengan penuh haru kesediaan banyak orang menyediakan diri menolong sesama tanpa pamrih.

Kita sering menjadi malu sebagai bangsa, solidaritas dari mereka yang sering kita anggap sebagai manusia individualistik dan egoistik justru memperlihatkan praktik hidup altruistik atau sekurang-kurangnya filantropik.

Sebenarnya tindakan altruistik masih sangat banyak kita temukan pada para pengabdi kemanusiaan yang tulus dan ikhlas membantu sesamanya: para dokter, guru, pekerja sosial, agamawan dan lain-lain golongan manusia yang menjalankan tugas dan profesinya tanpa pamrih.

Memang banyak juga, mungkin lebih banyak, yang sangat komersial dan egoistik, melihat sesamanya sebagai komoditas yang memberikan keuntungan.

Contohnya orang-orang yang berjuang untuk kepentingan sesama, menjadi bukti bagi kita bahwa sebenarnya tindakan altruistik masih menjadi suatu kerangka moral manusia yang bernilai tinggi. Filantropis memang berbeda dengan altruistik. Filantropis berarti kesediaan membantu sesama yang membutuhkan, baik dalam bentuk uang, barang maupun waktu. Namun, tindakan filantropis memang sangat tipis bedanya dengan tindakan altruistik.

Di seluruh dunia, lembaga-lembaga agama, perusahaan dan perkumpulan orang perorangan telah lama mengorganisir usaha-usaha kemanusiaan filantropis. Usaha-usaha filantropis ini telah memunculkan banyak organisasi kemanusiaan yang dikenal dengan LSM.

Lepas dari adanya "bisnis" dalam usaha-usaha kemanusiaan ini, jelaslah bahwa tindakan-tindakan filantropis baik yang dilakukan oleh organisasi maupun oleh perorangan dalam memberi dana, harta dan waktunya, dapat menjadi cikal bakal tindakan altruistik.

Walaupun gagasan filantropis sangat ideal, tidak sedikit disalahgunakan oleh orang tertentu. Banyak yang bersedia menjadi relawan karena bergaji besar, sehingga hakikatnya sebagai relawan bisa dipersoalkan. Ada relawan yang tiba-tiba menjadi jutawan baru dan tanpa malu-malu mengantongi gaji yang sangat besar dengan dalih menolong sesama.

Kewajiban

Baik altruisme maupun filantropis mengandung kewajiban moral dan kesadaran moral. Pejabat negara misalnya, mempunyai kewajiban moral untuk mengutamakan kepentingan rakyat atau masyarakat melampaui kepentingan diri atau golongannya. Memang kewajiban moral seorang pejabat tidak bisa dikategorikan sebagai tindakan filantropis apalagi altruistic, sebab kewajibannya terkait dengan imbalan yang ia terima.

Justru persoalannya adalah kewajiban moral para pejabat negara pun tidak dengan sendirinya dilaksanakan. Sebaliknya acap kali, atau bahkan seringkali, pejabat negara justru masih mengkomersialkan kewajiban moralnya.

Suburnya korupsi di Indonesia, berakar dalam pupusnya idealisme altruistik dan filantropik pada pejabat dan pegawai negeri tertentu. Karena itu, sudah sewajarnya apabila dalam proses fit and proper test seorang calon pejabat negara, dan dalam proses penerimaan pegawai negeri, kewajiban moral yang terkait dengan altruistik dan filantropis ini dipertimbangkan.

Sebagai kesadaran moral, tindakan altruistik dan filantropis seharusnya lahir dari panggilan luhur hati nurani untuk memperlakukan sesama sebagai makhluk yang memiliki harkat dan martabat yang tinggi.
Dalam hal itu, altruistik dan filantropis sesuai dengan tuntutan HAM. Menurut rumus Kaidah Emas (Golden Rule): "memperlakukan orang lain sebagaimana saya ingin diperlakukan oleh orang lain" yang ada dalam setiap agama, maka moralitas altruistik dan filantropis tidak lain dari kesadaran keagamaan dan kemanusiaan yang paling  hakiki.

CINTA ALTRUISTIK
Cinta adalah sebuah kata yang memiliki makna yang sangat luas. Bila kita menanyakan definisi tentang cinta kepada setiap orang, maka akan didapatkan beragam pengertian dan definisi tentang cinta.
Definisi yang paling umum dan popular di kalangan masyarakat, “cinta adalah keseimbangan dalam menerima (to take) dan memberi (to give)” . Definisi itu ingin menjelaskan bahwa didalam kamus cinta berlaku sebanyak apapun harapan yang kita terima dari yang dicintai tergantung sejauhmana kita memberi sesuatu kepadanya. Namun, pengertian cinta yang mendahulukan menerima (to take) dari pada memberi (to give) dalam kenyataannya seringkali tidak seimbang. Bahkan boleh jadi kita lebih banyak menerima ketimbang memberi. Sehingga di kalangan muda-mudi ada pemeo, “ada uang abang kusayang, tak ada uang abang kutendang“.
Jika kita mau mengintrospeksi diri, kita cenderung mencintai dengan cara yang kita anggap baik, bukan menyesuaikannya dengan kebutuhan dari yang kita cintai. Akhirnya kita menganggap telah melakukan banyak hal untuk yang kita cintai. Sementara kita merasakan bahwa pengorbanan kita tidak dihargai dan kita tidak mendapatkan yang diharapkan dari yang kita cintai. Hal ini sebenarnya dapat dihindari jika kita mencintai secara produktif dan altruistik, sebagaimana dikemukakan Erich Fromm, seorang filsuf dan psikolog asal Jerman, dalam bukunya The Art of Loving.
Menurut Erich Fromm, cinta mengandung unsur kepedulian (care), tanggung jawab (responsibility), respek (respect), dan pengenalan (knowledge). Dalam pandangan Fromm, cinta tidak pasif melainkan aktif bertindak. Sebuah contoh sederhana adalah kita tidak dapat mengatakan bahwa kita mencintai bunga jika kita tidak menyiramnya. Karena cinta yang peduli dan bertanggung jawab adalah cinta yang memberi tanpa berharap untuk mendapat balasan.
Erich Fromm menambahkan, cinta dasarnya adalah memberi. Memberi adalah ungkapan kemampuan atau potensi yang paling tinggi. Dengan melihat orang yang dicintai bahagia tumbuh dan berkembang secara fisik, psikis dan spiritual, maka kita pun akan bahagia. Bahagia semacam ini muncul karena kita merasa mampu dan berarti bagi orang lain. Menurut Fromm, cinta yang berprinsip take and give bukanlah cinta sejati, tetapi cinta dagang. Itulah sebabnya konsep cinta yang ditawarkan Fromm disebut sebagai cinta yang altruistik.
Cinta Altruistik ditandai dengan adanya perhatian, keinginan untuk selalu memberikan sesuatu, dan selalu siap menerima dan memaafkan kesalahan atau kekurangan yang dicintainya. Cinta diartikan sebagai suatu tugas yang harus dilakukan tanpa pamrih.
Bentuk cinta ini diungkapkan melalui pengorbanan diri, kesabaran dan rasa percaya terhadap orang yang dicintai.
Cinta seorang ibu kepada anaknya adalah contoh dari cinta altruistik. Betapapun besarnya pengorbanan, demi kecintaan pada buah hatinya, ia akan senatiasa melakukannya. Tentu saja kecintaan itu tidak memiliki pamrih sekecil apapun.
Begitu juga cinta seorang guru terhadap tugasnya dan cinta terhadap muridnya. Dengan kesadaran yang tinggi bahwa tugas mendidik adalah pekerjaan mulia dalam rangka mempersiapkan generasi mendatang yang lebih baik, maka pengorbanan bagi seorang guru adalah keniscayaan. Walaupun, seringkali pengorbanan yang dilakukannya itu tidak sebanding dengan apa yang ia terima.
John F. Kennedy, salah seorang presiden Amerika dalam salah satu pidatonya yang sangat terkenal, mengatakan. “Janganlah anda bertanya tentang apa yang bisa diberikan Amerika kepada anda, tetapi tanyalah tentang apa yang bisa anda berikan kepada Amerika“. Pidato itu ingin menyindir rakyat Amerika, terutama kaum mudanya, yang sudah mengalami kemerosotan dalam semangat cinta tanah airnya. Banyak kaum muda yang menolak mobilisasi, berdemonstrasi menentang kenaikan bahan makanan pokok, menolak kenaikan pajak dan lain-lain. Ucapan Kennedy ini menjadi masyhur untuk digunakan menyemangati bangsa agar mau berkorban demi kecintaan pada tanah air.
Cinta altruistik memang cinta yang unik. Cinta yang didasari oleh ketulusan. Cinta yang mendatangkan energi kuat untuk melakukan pengorbanan apa saja. Seringkali kita berbuat kebaikan kepada orang lain, tetapi balasannya tidak sebanyak kebaikan yang kita lakukan. Tetapi ingatlah bahwa Tuhan tidak akan pernah luput untuk memberi ganjaran kepada umatnya yang senantiasa berbuat kebaikan. Meminjam kata-kata seorang bijak, “Give to the world the best you have, and the best will comeback to you“. Berikan yang terbaik yang engkau miliki, niscaya yang terbaik pula yang akan engkau terima.

PENUTUP

Karena hanya manusia yang bermoral maka seharusnya setiap manusia mempunyai kesadaran altruistik dan filantropis.

Supaya kesadaran moral altruistik dan filantropis operasional dalam kenyataan hidup masyarakat, sifat itu mestinya menjadi muatan pendidikan budi pekerti dan pendidikan agama yang diberikan kepada anak didik.

Kepedulian terhadap sesama, solidaritas sosial dan kesediaan berbagi merupakan nilai-nilai yang perlu ditanamkan dan dibiasakan kepada anak didik sejak dari rumah, sekolah, dan di masyarakat.